Minggu, 22 November 2015

Teori Kritis

Teori Kritis
            Adanya ilmu Hubungan Internasional dengan banyak teori yang mendasari di dalamnya membuat sebuah perdebatan dikarenakan adanya kekurangan dan kelebihan dari masing-massing teori tersebut. Setelah sebelumnya membahas mengenai Liberal, Realis, dan Marxisme kali ini Teori Kritis hadir dalam bentuk sebuah kritikan terhadap teori sebelumnya. Teori Kritis merupakan suatu metodlogi yang digunakan dalam mengkritik berbagai hal yang bertujuan untuk memperluas cakupan dalam dtudi Hubungan Internasional. Sejak kemunculannya pada awal tahun 1980-an teori bukan hanya berfokus pada ruang lingkup politik saja, karena selama keberadaannya di dalam studi hubungan internasional teori ini bukan hanya membahas mengenai fenomena-fenomena namun juga terlihat ada poin-poin distinct dalam studi hubungan internasional(Wardhani 2013)
            Terdapat tiga kontribusi yang diberikan oleh Toeri Kritis untuk studi hubungan internasional yaitu, dalam menganalisa sosiologi historis terhadap struktur politik dunia modern, lalu kritik filosofis terhadap partikularisme dan eksklusi dan yang terkahir adalah adanya penyelidikan filosofis kedalam suatu kondisi yang memungkinkan terjadinya emansipasi dalam politik dunia. Tujuan yang diajukan oleh Teori Kritis adalah untuk menanggulangi Negara berdaulat dan menstabilkan politik dunia paska kedaulatan (Burchill & Linklater,2009).
            Contoh kasus yang coba di analisa oleh Teori Kritis adalah sebuah konser yang diadakan oleh Lady Gaga pada Juni 2012 lalu, dimana konser tersebut menuai protes dari banyak pihak terutama dari organisasi masyarakat seperti FPI(Front Pembela Islam) dan MUI(Majelis Ulama Indonesia) yang dianggap tidak memberikan manfaat bagi banyak orang dan dirasa dapat merusak moral bangsa karena terdapat perbedaan budaya antara Lady Gaga dan masyarakat Indonesia sendiri sehingga pihak kepolisian Polda Metro Jaya tidak memberikan izin terhadap konser tersebut.
            Kasus tersebut memang syarat akan keterlibatan agama didalamnya, banyak pihak yang menghubungkan hal ini dengan agama dan moral bangsa. Peran media dalam kasus ini adalah dengan membuka lahan dialog antar pihak yang terlibat didalamnya, sehingga peran media massa terkesan menentang Otoritas keberadaan elite yang berkuasa, dan hal inilah yang digadang-gadang menjadi tujuan dari Teori Kritis dari pihak media itu sendiri.
            Kasus ini sudah memasuki ranah media massa internasional seperti CNN, ABC, BBC News, dan TIME dimana berita mengenai Pembatalan Konser Lady Gaga tersebut. Adapun kalangan DPR turun tangan dalam menangani kasus ini dengan memanggil pihak Polda Metro Jaya untuk dimintai keterangan perihal kasus tersebut. Dalam hal ini lah media massa sangat besar dalam perannya, seperti mengontrol dalam mengontrol arus komunikasi antara massyarakat dan para petinggi negeri.
            Dalam hal ini, Teori Kritis dalam memberikan perhatian pada alat-alat komunikasi dalam masyarakat sangat besar, diharapkan dalam menggunakan Teori Kritis terhadap media arus media dan berita-berita yang disampaikan ke masyarakat lebih sehat dan bermanfaat dan tidak ada keterpihakan terhadap satu pihak terutama yang memiliki pengaruh, dan juga tidak adanya propaganda yang diciptakan oleh media massa.
            Kesimpulannya, bagaimana Teori Kritis ini mampu dijadikan teori yang dapat mengkritik teori-teori yang sudah ada sebelumnya dapat dilihat dari teori ini memposisikan terhadap teori yang dikritik, baik dalam bentuk penjelasan ketidaksempurnaan teori sebelumnya maupun penambahan dari kurangnya sebuah teori lmpau. Sehingga hal inilah yang menjadikan Teori Kritis sebagai teori yang bebas akan nilai. Walaupun teori ini di adopsi namun terdapat relevansi dengan ilmu hubungan internasional yang dirasa mampu membawa kearah perubahan yang signifikan terhadap fenomena dalam hubungan internasional dan politik global. Bukan hanya itu, kaitannya dalam kasus ini, Teori Kritis terhadap media juga memiliki pengaruh yang besar dalam menjaga stabilitas informasi yang terjadi pada media massa.


Perspektif Marxisme terhadap Kasus Tenaga Kerja Indonesia

Perspektif Marxisme terhadap Kasus Tenaga Kerja Indonesia
            Perspektif lain yang ada dalam hubungan internasional adalah Marxisme, berbeda dengan Liberal Realis teori ini tidak lahir dari ilmu hubungan internasional namun merupakan pemikiran yang di adopsi dari ilmu sosiologi. Paham ini lahir pada abad ke 19 yang kemunculannya dapat dikatakan terlambat, awal mula kemunculannya karena mengkritik pandangan liberalis ekonomi karena memandang perekonomian sebagai “positive sum game”dimana keuntungan dirasakan oleh semua pihak, tetapi marxisme berpendapat bahwa perekonomian sebagai tempat eksploitasi manusia dan terdapat perbedaan kelas didalamnya.
            Oleh karena itu, paham marxisme lebih fokus terhadap masalah mengenai bidang materi ekonomi, emansipasi dalam kelas pekerja, serta kesetaraan dunia. Emansipasi dalam kelas pekerja lebih ditekankan pada pembebasan dalam artian bebas dari eskploitasi, bebas dari kekejaman, dan bebas dalam hal lainnya selama tidak melanggar hukum yang mengatur mengenai pekerja. Contohnya adalah, penghapusan adanya kaum proletar dan eksploitasi kaum borjuis.
            Terdapat beberapa aspek yang mengidentifikasi kesamaan diantara marxisme dengan realism dan neoliberalisme, ialah dalam strukturlisme menyerupai realism dikarenakan keduanya sama-sama menekankan konflik sebagai proses yang inti dalam hubungan internasional. Adapula kesamaannya dengan neorealisme dimana konflik yang ada didunia internasional disebabkan karena struktur dalam system internasional menyebabkan terjadinya konflik antar Negara dan merupakan fokusan yang utama dalam mengkaji marxisme. Adapun terdapat tiga asumsi dasar dari marxisme diantaranya adalah memandang manusia sebagai makhluk yang matreaistis, dalam proses penyatuan masyarakat menjadi suatu dinamika kapitalisme dianggap sebagai driving forces dalam hubungan internasional dan yang terakhir adalah marxisme terfokus pada aspek ekonomi dimana ekonomi dianggap lebih penting dibandingkan permasalahan-permasalahan lainnya.

            Dalam mengkaji sebuah kasus, Marxisme menggunakan Dialetic Sycle dan diterapkan dalam contoh kasus yaitu mengenai kekerasan terhadap TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang berada di Malaysia. Telah banyak terdengar kasus kekerasan TKI yang dilakukan oleh majikannya karena  berbagai alasan yang dirasa kurang masuk akal dan tidak berkeeprimanusiaan, contohnya adalah TKI asal Garut yang selama tiga tahun mengalami penyiksaan oleh sang majikan. Dalam memberikan pandanganMarxisme dirancang sebagai alat untuk mempromosikan masyarakat yang baik dalam respon modernitas. Potensi yang dicapai oleh individu terkait dengan aktivitas ekonomi hanya mungkin terjadi apabila system produksi berbasis kelas yang menjadi karakter kapitalisme dihapuskan.
            Dikaji lebih dalam lagi mengenai kasus tersebut, alasan adanya kekerasan oleh majikan di akui karena kesalah dari TKI tersebut yang kurang kompeten dan maksimal dalam menjalankan pekerjaanya namun adapula yang menjadi alasan lainnya adalah adanya rasa kepemilikan yang mutlak oleh majikan terhadapa TKI yang menjadi korban kekerasan tersebut. Ha tersebut merupakan power yang menjadi unsur utama dalam teori Marx mengenai Proletar dan Borjuis, dimana terbukti bahwa sang majikan yaitu kaum Borjuis memiliki power yang besar sebagai pemilik modal dalam memberikan upah sehingga merasa dapat meberikan tekanan Proletar. Alasan dari Siti Hajar mengapa tetap ingin bertahan di pekerjaannya adalah karena masih mengharapkan upah yang didapatnya tersebut untuk membiayai kedua anaknya yang ada di Indonesia, hal ini menegaskan kembali bahwa power yang dimiliki oleh kaum Proletar berada sangat jauh dibawah kaum Borjuis sehingga tidak ada perlawanan terhadap tekanan yang ia alami.
           



            Perspektif Marxisme terlihat seperti menghendaki adanya Kapitalis, namun dibalik hal itu Marxisme mencita-citakan sebuah revolusi atau adanya kebangkitan dari kaum proletar. Dapat dilihat bahwa, kaum proletar seringkali merasa tertindas dan dieksploitasi oleh kelas yang dominan dalam prakteknya sseringkali menggunakan kekerasan atau pemaksaan dalam rangka mempertahankan kekuasaan dan mencapain kepentingannya. Sehingga timbulah sebuah “pemberontakan” yang dilakukan oleh kelas yang merasa di diskriminasi dengan cara melancarkan perjuangan politik dimana dirancang untuk mengubah tataran sosial yang lampau dan digantikan dengan tatanan ekonomi yang modern. Terbukti dengan aksi Siti Hajar yang berhasil melarika diri dari rumah sang majikan karena merasa tidak tahan dan berani memaparkannya didepan media massa Indonesia bagaimana kronolgi kejadian yang dia alami sebenarnya. Memang belum ada revolusi yang nyata dalam hal ini, namun pembentukan organisasi-organisasi sosial yang bertujuan untuk mendukung kaum proletar, contohnya yang ada di Indonesia seperti Serikat Buruh dan Front Pejuang Rakyat.
            Dapat disimpulkan, pandangan Marxisme dalam kasus tersebut tidak menitik beratkan pada Negara mana yang dirasa perlu bertanggung jawab namun difokuskan pada ketidak adilan dalam kelas yaitu kaum Borjuis yang diposisikan oleh majikan dan proletar yang direpresentasikan oleh TKI tersebut. Karena Marxisme melihat masalah ini dari sudut pandang eknomi, maka susah untuk dikaitkan dengan hubungan bilateral kedua Negara, adanya prohabilitas yang terjadi dalam kasus ini dapat dikarenakan adanya perbedaan etnis yang dimana sebagian besar majikan di Malaysia adalah dating dari etnis China sehinggan dapat menimbulkan kecemburuan sosial dan berujung pada kekerasan dan penyiksaan. Sama seperti teori lainnya, Marxisme juga tidak luput dari kekurangan dan tidak sempurna dalam menjelaskan suatu masalah meskipun didalamnya terdapat kelebihan kekurangan tersendiri.



           

           


Konflik Bersenjata Kamboja-Thailand dari Kacamata Realis

Konflik Bersenjata Kamboja-Thailand dari Kacamata Realis
            Sebuah teori yang telah lama dan paling tradisional yang kita ketahui adalah Realisme dalam studi Hubungan Internasional, unsur yang paling khas melekat dalam realism adalah power, security, self-help, sevoreignty, dan interest. Realism biasa digunakan sebagai perspektif dalam mengansumsikan dasar tentang hubungan internasional antar Negara. Pada intinya, para pemikir realis memandng bahwa dunia politik berada dalam suatu anarki internasional, dalam artian system tanpa adanya kekuasaan yang dominan, dan tidak adanya pemerintahan yang memerintah dalam tingkatan dunia. Tokoh utama dalam dunia politik ialah Negara itu sendiri, actor lain selain Negara seperti organisasi internasional bukanlah actor yang memberi pengaruh kepada dunia politik internasional. Dari sisi normative, keamananan nasional dan kelangsungan hidup Negara merupakan bagian yang penting bagi kehidupan warga negaranya, karena Negara merupakan pelindung dari wilayah, penduduk.
            Lalu dalam menanggapi sebuah kasus, bagaimanakah realism memandang kasus Thailand dan Kamboja dalam konflik bersenjata yang sudah lama terjadi? Melalui tulisan ini, saya akan menganalisa kembali bagaimana konflik yang terjadi antara dua Negara tetangga ini bisa terjadi. Thailand dan Kamboja merupakan Negara tetangga yang sama-sama berada dalam wilayah Asia Tenggara dan memiliki hubungan yang cukup baik karena didasari pada persamaan agama yaitu agama Budha yang merupakan agama mayoritas di kedua Negara tersebut, persamaan yang lain adalah pada system pemerintahan kedua Negara yaitu sama-sama mengadopsi system pemerintahan monarki absolut.
            Retakanya hubungan kedua Negara diawali pada tahun 1975 yang merupakan tahun dari kejadian konflik Perang Indochina, dan keretakan hubungan terus berlanjut hingga pasca perang tersebut. Masalah diperparah dengan perebutan hak miliki dari sebuah kuil yang berusia 900 tahun dan memiliki wilayah seluas 4.6  yaitu Kuil Preah Vihear, permasalahn ini terus memanas  belakangan ini. Sebenarnya, kepemilikan kuil tersebut telah diatur oleh Mahkamah Internasional pada tahun 1962 yang dijatuhi kepemilikannya kepada rakyat Kamboja namun yang menjadi masalah dalam konflik tersebut adalah tidak ada penjelassan lebih lanjut mengenai kepemilikan wilayah seluas 4,6  tersebut oleh Mahkamah Internasional, dan juga adanya keputusan UNESCO yang memasukkan kuil tersebut warisan sejarah dunia yang menimbulkan reaksi negative dari rakyat Thailand.  Oleh karena itu terjadilah sengketa yang diperparah dengan gencatan senjata di wilayah tersebut, masing-masing Negara mengirimkan lebih dari 4000 pasukan disekitar kawasan Kuil Preah Vihear pada Juli 2008, sehingga kedua Negara menimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran kedaulatan nasional mereka. Puncaknya pada 15 Oktober sebanyak tiga tentara Kamboja gugur dalam gencatan senjata tersebut dan membuat empat tentara Thailand luka-luka.[1]
            Alasan lain dalam perebutan wilayah sekitar kuil Preah Vihear adalah, karena disekitar wilayah tersebut mengandung banyak sumber daya mineral, minyak bumi dan gas alam, secara langsung akan menambah dan menjamin terpenuhinya kebutuhan energy Negara pemiliknya dan juga keuntungan dalam pemasukan Negara tersebut jika dilihat dari keuntungan penjualan sumber-sumber energy tersebut. Masalah pengklaiaman kebenaran peta juga menjadi masalah, Kamboja sebagai Negara bekas jajahan Perancis menggunakan peta dari mantan jajahannya, sementara Thailand menggunakan peta yang berbeda dalam penunjukan wilayah teritori masing-masing Negara. Sehingga terjadilah kesalahan penafsiran. Kekhawatiran Thailand terhadap Kamboja adalah apabila wilayah tersebut dikabulkan dalam pengklaimannya oleh Kamboja maka ditakutkan Kamboja akan semakin ingin menambah wilayah kekuasaanya dan wilaya-wilayah sala tafsiran yang lainnya, hal ini juga berlakusebaliknya.
            Dalam usaha penyelasaian masalah, kedua Negara telah menyetujui untuk melakukan pertemuan membahas mengenai jalan keluar dalam penyelasain sengketa, namun hingga kini(2008) Kamboja dan Thailand belum bertemu secara langsung. Dimana, pasca 15 Oktober lalu, hubungan kedua Negara semakin susah untuk dipertemukan.
            Realis memandang bahwa yang menjadi actor utama dalam konflik ini adalah masing-masing Negara, yaitu Kamboja dan Thailand karena dikaji lagi betapa pentingnya Negara dalam hubungan internasional yang begitu terasa. Terbukti dengan kurang adanya pengaruh yang signifikan dalam penyelasaian konflik Kamboja dan Thailand ini yaitu organisasi internasional yaitu PBB ataupun ASEAN yang pada kenyataannya tidak mampu  memberikan peran yang membantu dalam penyelasaian konflik bersenjata Kamboja-Thailand. Konflik bisa saja berakhir apabila Negara-negara yang terlibat konflik dengan sukarela bersedia untuk melakukan perdamaian, namun hal inilah yang susah untuk dilakukan oleh kedua Negara.
            Adapun, asumsi yang oleh kaum realis dalam memandang kasus ini adalah, dalam konflik salah satu cara dalam menanganinya hanyalah melalui sebuah perang, begitupula dalam kasus Kamboja-Thailand ini dimana hubungan kedua Negara adalah hubungan yang bersifat konfliktual. Karena bagi realis setiap hubungan antar Negara pastilah akan menimbulkan sebuah konflik, pada dasarnya pemenuhan keinginan dan kepentingan nasional merupakan hal utama dalam melakukan hubungan sehingga timbulah upaya-upaya sehubungan dengan pemunuhan hal-hal tersebut, dimana kepentingan nasional Negara satu akan berbeda dengan Negara lainnya, begitu pula Kamboja dan Thailand dalam halnya konflik tersebut. Beberapa hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya benturan-benturan kepentingan dalam hubungan antar Negara, yang berbuntut pada terjadinya konflik antar Negara. Dalam hal ini realis memandang pihak yang kuat kemudian akan mengalahkan pihak yang lemah dan pihak yang kalah kemudian akan melakukan apa yang diinginkan oleh pihak yang menang peperangan.
            Dengan mengambil keputusan, asumsi dasar dari realis sangat cocok dalam mengaitkan kasus dan terukti kebenarannya dalam konflik bersenjata Kamboja-Thailand, disebutkan kembali bahwa Negara merupakan satu-satunya actor utama dalam penyelesaian konflik dan dalam hubungan internasional terbukti dengan tidak adanya peran yang maksimal dari actor non Negara seperti organisasi internasional dalam konflik bersenjata yang dapat dikatakan awal mula perang ini. Selanjutnya adalah, hubungan antar Negara yang bersifat konfliktual dalam perebutan wilayah dalam jangka waktu yang panjang.
            Ditambahan pula, adanya kepentingan konflik kepentingan dalam perebutan wilayah antar Negara dan masyarakat, yang dibuktikan dengan adanya rasa sama-sama ingin memenuhi kepentingan nasional terkait dengan wilayah yang kaya akan sumber mineral, minyak bumi dan gas alam serta adanya implikasi kepemilikan pada begaining position dan power mereka. Kaum relais cenderung melakukan penolakan nilai moral yang bersifat universal dan lebih mementingkan power daripada keadilan sebagai contoh nyata pada kasus ini yaitu semakin memburuknya hubungan Kamboja dan Thailand yang dimana seharusnya menerapkan good neighbor policy namun pada kenyataan malah sebaliknya terbukti dalam penggunaan power yang semaikn terasa dalam memberikan tekanan pada lawannya. Dalam kasus ini realis sudah sangat mewakili seluruh pandangan lain,bahwa hubungan internasional akan selalu berkisar pada usaha saling menjatuhkan antar Negara demi tercapainya kepentingan nasional.
           








[1] Derek Manangka.”Bara Dendam Thailand-Kamboja, Konflik Thailand dan Kamboja” terdapat dalam  http://www.inilah.com/berita/politik/2008/10/18/55775/bara-dendam-thailand-kamboja/  diakses pada 19 November 2015

Penejelasan Liberalisme terkait Konflik Laut China Selatan

Penejelasan Liberalisme terkait Konflik Laut China Selatan
            Perspektif yang telah lama ditemukan berdampingan dengan Realis yaitu Liberal juga biasa digunakan untuk menempatkan sebuah preposisi yang digunakan dalam sebuah studi kasus. Liberal tidak pernah lepas dengan Realis, dalam memandang sebuah permasalahan jika Realis dilihat dari sisi kiri maka Liberal akan berbicara melalui sisi kanan dimana manusia memiliki banyak kepentingan dengan sumber-sumber yang terbatas sehingga membutuhkan peran manusia lain yang tujuannya adalah untuk mencapai kepentingan yang diidamkan.
            Liberal menyadari bahwa pencapaian kepentingan yang dilakukan oleh Negara-negara tentunya akan memunculkan interaksi dimana merupakan sebuah system yang anarki. Namun, anarki tersebut bisa diatasi melalui usaha yang sekiranya bisa membuat dunia menjadi lebih tidak anarkis. Hal tersebut adalah dengan mengadakan sebuh kerjasama oleh Negara-negara yang saling membutuhkan dalam pencapaian tujuan, sehingga manfaat yang maksimal akan terasa oleh pihak yang melakukan kerjasama, dan juga kerjasama dirasa sangat relevan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Jika realis menganggap perang adalah “senjata” utama, maka liberal sangat tidak mencita-citakan sebuah perang karena dirasa hanya memberikan keuntungan bagi salah satu pihak dan akan terjadi kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan.
             Kerangka berpikir Liberalis dalam mengaitkan sebuah kasus sepeti kasus yang dapat dikatakan belum ada penyelesaian sampai saat ini yaitu Konflik Laut China Selatan tidak mengelak bahwa akan adanya benturan kepentingan oleh lima Negara yang terlibat didalamnya seperti China, Vietnam, Philipina, Malaysia dan Brunei, konflik didasari pada perebutan wilayah perairan Laut China Selatan yang merupakan jalur perdagangan internasional dengan sumber daya yang melimpah terkandung didalamnya. Bagi Libelar, aksi China yang menggunakan kekuatan militer untuk mengatasi benturan kepentingan tersebut tidak bisa ditolerir oleh Liberal, karena Liberal percaya melalui perundingan atau dialog antar Negara dapat menuju kearah kerjasama yang mengutungkan semua pihak yang terlibat.
            Pandangan Liberalisme terhadap pengklaiman yang dilakukan China dirasa merupakan kesalah pahaman, karena Liberal percaya bahwa peran Hukum Internasional yang mengatur batas-batas dari wilayah perairan sebuah Negara sudah efektif dalam menggambarkan bagaimana hak milih wilayah seharusnya. Terhadap empat Negara selain China yaitu Vietnam,Philipina,Malaysia, dan Brunei sebaiknya tidak melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan China yaitu menggunakan kekerasan, sebaliknya mereka perlu memulai proses perundingan dengan China untuk meluruskan masalah yang menjadi kesalahpahaman selama ini. Liberal sangat mendukung usaha Indonesia yang ingin menyatukan Philipina, Malaysia, Brunei, dan Vietnam dibawah ASEAN agar lebih mudah untuk bertemu dengan China.
            Langkah kongkret yang ditawarkan oleh Liberalisme adalah memunculkan pihak ketiga yaitu PBB dan membawa kasus tersebut ke dalam Sidang Majelis Umum, agar masyarakat internasional dapat memberikan saran dan solusi terkait konflik tersebut. Lebih lanjut dalam membuat keputusan yang mengikat, maka Negara-negara yang berselisih disarankan untuk mebawa kasusnya ke Mahkamah Internasional Kelautan, sehingga dapat terselesaikan melaui jalur hukum. Salah satu instrument yang paling obyektif dan telah terlaksana yaitu United Nations Convention the Sea(UNCLOS) bagi Liberal merupaka hal yang tepat dalam kasus ini karena didalamnya telah diatur pembagian batas tegas wilayah teritori kelautan Negara. Keputusan yang dilakukan berdasarkan penilaian UNCLOS dan hasil persidangan ditemukan keuntungan yang dirasakan oleh semua pihak dan keputusan tersebut bersifat mengikat. Liberalism menganggap langkah Philipina yang memiliki tekad untuk membawa konflik ini ke Mahkamah Internasional sangat mendapat dukungan, dan dapat terselesaikan melalui UNCLOS.


            Dari pemaparan singkat mengenai Perspektif Liberal diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, Liberal pada prakteknya bertolak belakang dengan Realis. Perspektif Realis menyatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah jahat  namun disisi lain Liberal mengatakan tidak selamanya manusia adalah jahat. Karena pada dasarnya manusia pun memiliki sifat saling membutuhkan satu sama lain sehingga membentuk sebuah kerjasama untuk mencapai kepentingan masing-masing pihak. Jika pada Realis power adalah alat dalam mencapai kepentingan dan perdamaian, maka liberal menekankan pada interdepensi antar Negara serta adanya kerjasama yang membuat Negara-negara akan berfikir dua kali untuk melakukan konflik dengan Negara lain mengingat kembali dengan rasa saling membutuhkan yaitu kepentingan itu sendiri.
            Dari perspektif yang dimiliki oleh Liberal dalam penjelasan Konflik Laut China Selatan dapat dikatakan bertentangan dengan logika umum kebanyakan orang, hal ini dikarenakan Liberal berharap China untuk tidak menggunakan kekerasan dalam penyelasaian masalah kendati China memiliki kekuatan dalam bidang militer. Namun, bukan berarti pula dalam pemikirannya Liberal tidak sesuai dengan kenyataan atau utopis menurut Realis, dalam kasus ini Liberal berusaha untuk membuat menjadi lebih baik dan dalam peneylesaian masalah sama sekali tidak anarki sehingga Negara-negara dapat menyelesaikan masalah, konflik atau segala sesuatunya melalui kerjasama atau hukum internasional yang berlaku sesuai dengan kesepakatan bersama.