Minggu, 22 November 2015

Perspektif Marxisme terhadap Kasus Tenaga Kerja Indonesia

Perspektif Marxisme terhadap Kasus Tenaga Kerja Indonesia
            Perspektif lain yang ada dalam hubungan internasional adalah Marxisme, berbeda dengan Liberal Realis teori ini tidak lahir dari ilmu hubungan internasional namun merupakan pemikiran yang di adopsi dari ilmu sosiologi. Paham ini lahir pada abad ke 19 yang kemunculannya dapat dikatakan terlambat, awal mula kemunculannya karena mengkritik pandangan liberalis ekonomi karena memandang perekonomian sebagai “positive sum game”dimana keuntungan dirasakan oleh semua pihak, tetapi marxisme berpendapat bahwa perekonomian sebagai tempat eksploitasi manusia dan terdapat perbedaan kelas didalamnya.
            Oleh karena itu, paham marxisme lebih fokus terhadap masalah mengenai bidang materi ekonomi, emansipasi dalam kelas pekerja, serta kesetaraan dunia. Emansipasi dalam kelas pekerja lebih ditekankan pada pembebasan dalam artian bebas dari eskploitasi, bebas dari kekejaman, dan bebas dalam hal lainnya selama tidak melanggar hukum yang mengatur mengenai pekerja. Contohnya adalah, penghapusan adanya kaum proletar dan eksploitasi kaum borjuis.
            Terdapat beberapa aspek yang mengidentifikasi kesamaan diantara marxisme dengan realism dan neoliberalisme, ialah dalam strukturlisme menyerupai realism dikarenakan keduanya sama-sama menekankan konflik sebagai proses yang inti dalam hubungan internasional. Adapula kesamaannya dengan neorealisme dimana konflik yang ada didunia internasional disebabkan karena struktur dalam system internasional menyebabkan terjadinya konflik antar Negara dan merupakan fokusan yang utama dalam mengkaji marxisme. Adapun terdapat tiga asumsi dasar dari marxisme diantaranya adalah memandang manusia sebagai makhluk yang matreaistis, dalam proses penyatuan masyarakat menjadi suatu dinamika kapitalisme dianggap sebagai driving forces dalam hubungan internasional dan yang terakhir adalah marxisme terfokus pada aspek ekonomi dimana ekonomi dianggap lebih penting dibandingkan permasalahan-permasalahan lainnya.

            Dalam mengkaji sebuah kasus, Marxisme menggunakan Dialetic Sycle dan diterapkan dalam contoh kasus yaitu mengenai kekerasan terhadap TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang berada di Malaysia. Telah banyak terdengar kasus kekerasan TKI yang dilakukan oleh majikannya karena  berbagai alasan yang dirasa kurang masuk akal dan tidak berkeeprimanusiaan, contohnya adalah TKI asal Garut yang selama tiga tahun mengalami penyiksaan oleh sang majikan. Dalam memberikan pandanganMarxisme dirancang sebagai alat untuk mempromosikan masyarakat yang baik dalam respon modernitas. Potensi yang dicapai oleh individu terkait dengan aktivitas ekonomi hanya mungkin terjadi apabila system produksi berbasis kelas yang menjadi karakter kapitalisme dihapuskan.
            Dikaji lebih dalam lagi mengenai kasus tersebut, alasan adanya kekerasan oleh majikan di akui karena kesalah dari TKI tersebut yang kurang kompeten dan maksimal dalam menjalankan pekerjaanya namun adapula yang menjadi alasan lainnya adalah adanya rasa kepemilikan yang mutlak oleh majikan terhadapa TKI yang menjadi korban kekerasan tersebut. Ha tersebut merupakan power yang menjadi unsur utama dalam teori Marx mengenai Proletar dan Borjuis, dimana terbukti bahwa sang majikan yaitu kaum Borjuis memiliki power yang besar sebagai pemilik modal dalam memberikan upah sehingga merasa dapat meberikan tekanan Proletar. Alasan dari Siti Hajar mengapa tetap ingin bertahan di pekerjaannya adalah karena masih mengharapkan upah yang didapatnya tersebut untuk membiayai kedua anaknya yang ada di Indonesia, hal ini menegaskan kembali bahwa power yang dimiliki oleh kaum Proletar berada sangat jauh dibawah kaum Borjuis sehingga tidak ada perlawanan terhadap tekanan yang ia alami.
           



            Perspektif Marxisme terlihat seperti menghendaki adanya Kapitalis, namun dibalik hal itu Marxisme mencita-citakan sebuah revolusi atau adanya kebangkitan dari kaum proletar. Dapat dilihat bahwa, kaum proletar seringkali merasa tertindas dan dieksploitasi oleh kelas yang dominan dalam prakteknya sseringkali menggunakan kekerasan atau pemaksaan dalam rangka mempertahankan kekuasaan dan mencapain kepentingannya. Sehingga timbulah sebuah “pemberontakan” yang dilakukan oleh kelas yang merasa di diskriminasi dengan cara melancarkan perjuangan politik dimana dirancang untuk mengubah tataran sosial yang lampau dan digantikan dengan tatanan ekonomi yang modern. Terbukti dengan aksi Siti Hajar yang berhasil melarika diri dari rumah sang majikan karena merasa tidak tahan dan berani memaparkannya didepan media massa Indonesia bagaimana kronolgi kejadian yang dia alami sebenarnya. Memang belum ada revolusi yang nyata dalam hal ini, namun pembentukan organisasi-organisasi sosial yang bertujuan untuk mendukung kaum proletar, contohnya yang ada di Indonesia seperti Serikat Buruh dan Front Pejuang Rakyat.
            Dapat disimpulkan, pandangan Marxisme dalam kasus tersebut tidak menitik beratkan pada Negara mana yang dirasa perlu bertanggung jawab namun difokuskan pada ketidak adilan dalam kelas yaitu kaum Borjuis yang diposisikan oleh majikan dan proletar yang direpresentasikan oleh TKI tersebut. Karena Marxisme melihat masalah ini dari sudut pandang eknomi, maka susah untuk dikaitkan dengan hubungan bilateral kedua Negara, adanya prohabilitas yang terjadi dalam kasus ini dapat dikarenakan adanya perbedaan etnis yang dimana sebagian besar majikan di Malaysia adalah dating dari etnis China sehinggan dapat menimbulkan kecemburuan sosial dan berujung pada kekerasan dan penyiksaan. Sama seperti teori lainnya, Marxisme juga tidak luput dari kekurangan dan tidak sempurna dalam menjelaskan suatu masalah meskipun didalamnya terdapat kelebihan kekurangan tersendiri.



           

           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar