Perspektif Marxisme terhadap Kasus
Tenaga Kerja Indonesia
Perspektif lain yang ada dalam
hubungan internasional adalah Marxisme, berbeda dengan Liberal Realis teori ini
tidak lahir dari ilmu hubungan internasional namun merupakan pemikiran yang di
adopsi dari ilmu sosiologi. Paham ini lahir pada abad ke 19 yang kemunculannya
dapat dikatakan terlambat, awal mula kemunculannya karena mengkritik pandangan
liberalis ekonomi karena memandang perekonomian sebagai “positive sum game”dimana keuntungan dirasakan oleh semua pihak,
tetapi marxisme berpendapat bahwa perekonomian sebagai tempat eksploitasi manusia
dan terdapat perbedaan kelas didalamnya.
Oleh karena itu, paham marxisme
lebih fokus terhadap masalah mengenai bidang materi ekonomi, emansipasi dalam
kelas pekerja, serta kesetaraan dunia. Emansipasi dalam kelas pekerja lebih
ditekankan pada pembebasan dalam artian bebas dari eskploitasi, bebas dari
kekejaman, dan bebas dalam hal lainnya selama tidak melanggar hukum yang
mengatur mengenai pekerja. Contohnya adalah, penghapusan adanya kaum proletar
dan eksploitasi kaum borjuis.
Terdapat beberapa aspek yang
mengidentifikasi kesamaan diantara marxisme dengan realism dan neoliberalisme,
ialah dalam strukturlisme menyerupai realism dikarenakan keduanya sama-sama menekankan
konflik sebagai proses yang inti dalam hubungan internasional. Adapula
kesamaannya dengan neorealisme dimana konflik yang ada didunia internasional
disebabkan karena struktur dalam system internasional menyebabkan terjadinya
konflik antar Negara dan merupakan fokusan yang utama dalam mengkaji marxisme.
Adapun terdapat tiga asumsi dasar dari marxisme diantaranya adalah memandang
manusia sebagai makhluk yang matreaistis, dalam proses penyatuan masyarakat
menjadi suatu dinamika kapitalisme dianggap sebagai driving forces dalam hubungan internasional dan yang terakhir
adalah marxisme terfokus pada aspek ekonomi dimana ekonomi dianggap lebih
penting dibandingkan permasalahan-permasalahan lainnya.
Dalam mengkaji sebuah kasus,
Marxisme menggunakan Dialetic Sycle dan diterapkan dalam contoh kasus yaitu
mengenai kekerasan terhadap TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang berada di
Malaysia. Telah banyak terdengar kasus kekerasan TKI yang dilakukan oleh
majikannya karena berbagai alasan yang
dirasa kurang masuk akal dan tidak berkeeprimanusiaan, contohnya adalah TKI
asal Garut yang selama tiga tahun mengalami penyiksaan oleh sang majikan. Dalam
memberikan pandanganMarxisme dirancang sebagai alat untuk mempromosikan
masyarakat yang baik dalam respon modernitas. Potensi yang dicapai oleh
individu terkait dengan aktivitas ekonomi hanya mungkin terjadi apabila system
produksi berbasis kelas yang menjadi karakter kapitalisme dihapuskan.
Dikaji lebih dalam lagi mengenai
kasus tersebut, alasan adanya kekerasan oleh majikan di akui karena kesalah
dari TKI tersebut yang kurang kompeten dan maksimal dalam menjalankan
pekerjaanya namun adapula yang menjadi alasan lainnya adalah adanya rasa
kepemilikan yang mutlak oleh majikan terhadapa TKI yang menjadi korban
kekerasan tersebut. Ha tersebut merupakan power yang menjadi unsur utama dalam
teori Marx mengenai Proletar dan Borjuis, dimana terbukti bahwa sang majikan
yaitu kaum Borjuis memiliki power yang besar sebagai pemilik modal dalam
memberikan upah sehingga merasa dapat meberikan tekanan Proletar. Alasan dari
Siti Hajar mengapa tetap ingin bertahan di pekerjaannya adalah karena masih
mengharapkan upah yang didapatnya tersebut untuk membiayai kedua anaknya yang
ada di Indonesia, hal ini menegaskan kembali bahwa power yang dimiliki oleh
kaum Proletar berada sangat jauh dibawah kaum Borjuis sehingga tidak ada
perlawanan terhadap tekanan yang ia alami.
Perspektif Marxisme terlihat seperti
menghendaki adanya Kapitalis, namun dibalik hal itu Marxisme mencita-citakan
sebuah revolusi atau adanya kebangkitan dari kaum proletar. Dapat dilihat
bahwa, kaum proletar seringkali merasa tertindas dan dieksploitasi oleh kelas
yang dominan dalam prakteknya sseringkali menggunakan kekerasan atau pemaksaan
dalam rangka mempertahankan kekuasaan dan mencapain kepentingannya. Sehingga
timbulah sebuah “pemberontakan” yang dilakukan oleh kelas yang merasa di
diskriminasi dengan cara melancarkan perjuangan politik dimana dirancang untuk
mengubah tataran sosial yang lampau dan digantikan dengan tatanan ekonomi yang
modern. Terbukti dengan aksi Siti Hajar yang berhasil melarika diri dari rumah
sang majikan karena merasa tidak tahan dan berani memaparkannya didepan media
massa Indonesia bagaimana kronolgi kejadian yang dia alami sebenarnya. Memang
belum ada revolusi yang nyata dalam hal ini, namun pembentukan
organisasi-organisasi sosial yang bertujuan untuk mendukung kaum proletar,
contohnya yang ada di Indonesia seperti Serikat Buruh dan Front Pejuang Rakyat.
Dapat disimpulkan, pandangan
Marxisme dalam kasus tersebut tidak menitik beratkan pada Negara mana yang
dirasa perlu bertanggung jawab namun difokuskan pada ketidak adilan dalam kelas
yaitu kaum Borjuis yang diposisikan oleh majikan dan proletar yang
direpresentasikan oleh TKI tersebut. Karena Marxisme melihat masalah ini dari
sudut pandang eknomi, maka susah untuk dikaitkan dengan hubungan bilateral
kedua Negara, adanya prohabilitas yang terjadi dalam kasus ini dapat
dikarenakan adanya perbedaan etnis yang dimana sebagian besar majikan di
Malaysia adalah dating dari etnis China sehinggan dapat menimbulkan kecemburuan
sosial dan berujung pada kekerasan dan penyiksaan. Sama seperti teori lainnya,
Marxisme juga tidak luput dari kekurangan dan tidak sempurna dalam menjelaskan
suatu masalah meskipun didalamnya terdapat kelebihan kekurangan tersendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar