Minggu, 22 November 2015

Konflik Bersenjata Kamboja-Thailand dari Kacamata Realis

Konflik Bersenjata Kamboja-Thailand dari Kacamata Realis
            Sebuah teori yang telah lama dan paling tradisional yang kita ketahui adalah Realisme dalam studi Hubungan Internasional, unsur yang paling khas melekat dalam realism adalah power, security, self-help, sevoreignty, dan interest. Realism biasa digunakan sebagai perspektif dalam mengansumsikan dasar tentang hubungan internasional antar Negara. Pada intinya, para pemikir realis memandng bahwa dunia politik berada dalam suatu anarki internasional, dalam artian system tanpa adanya kekuasaan yang dominan, dan tidak adanya pemerintahan yang memerintah dalam tingkatan dunia. Tokoh utama dalam dunia politik ialah Negara itu sendiri, actor lain selain Negara seperti organisasi internasional bukanlah actor yang memberi pengaruh kepada dunia politik internasional. Dari sisi normative, keamananan nasional dan kelangsungan hidup Negara merupakan bagian yang penting bagi kehidupan warga negaranya, karena Negara merupakan pelindung dari wilayah, penduduk.
            Lalu dalam menanggapi sebuah kasus, bagaimanakah realism memandang kasus Thailand dan Kamboja dalam konflik bersenjata yang sudah lama terjadi? Melalui tulisan ini, saya akan menganalisa kembali bagaimana konflik yang terjadi antara dua Negara tetangga ini bisa terjadi. Thailand dan Kamboja merupakan Negara tetangga yang sama-sama berada dalam wilayah Asia Tenggara dan memiliki hubungan yang cukup baik karena didasari pada persamaan agama yaitu agama Budha yang merupakan agama mayoritas di kedua Negara tersebut, persamaan yang lain adalah pada system pemerintahan kedua Negara yaitu sama-sama mengadopsi system pemerintahan monarki absolut.
            Retakanya hubungan kedua Negara diawali pada tahun 1975 yang merupakan tahun dari kejadian konflik Perang Indochina, dan keretakan hubungan terus berlanjut hingga pasca perang tersebut. Masalah diperparah dengan perebutan hak miliki dari sebuah kuil yang berusia 900 tahun dan memiliki wilayah seluas 4.6  yaitu Kuil Preah Vihear, permasalahn ini terus memanas  belakangan ini. Sebenarnya, kepemilikan kuil tersebut telah diatur oleh Mahkamah Internasional pada tahun 1962 yang dijatuhi kepemilikannya kepada rakyat Kamboja namun yang menjadi masalah dalam konflik tersebut adalah tidak ada penjelassan lebih lanjut mengenai kepemilikan wilayah seluas 4,6  tersebut oleh Mahkamah Internasional, dan juga adanya keputusan UNESCO yang memasukkan kuil tersebut warisan sejarah dunia yang menimbulkan reaksi negative dari rakyat Thailand.  Oleh karena itu terjadilah sengketa yang diperparah dengan gencatan senjata di wilayah tersebut, masing-masing Negara mengirimkan lebih dari 4000 pasukan disekitar kawasan Kuil Preah Vihear pada Juli 2008, sehingga kedua Negara menimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran kedaulatan nasional mereka. Puncaknya pada 15 Oktober sebanyak tiga tentara Kamboja gugur dalam gencatan senjata tersebut dan membuat empat tentara Thailand luka-luka.[1]
            Alasan lain dalam perebutan wilayah sekitar kuil Preah Vihear adalah, karena disekitar wilayah tersebut mengandung banyak sumber daya mineral, minyak bumi dan gas alam, secara langsung akan menambah dan menjamin terpenuhinya kebutuhan energy Negara pemiliknya dan juga keuntungan dalam pemasukan Negara tersebut jika dilihat dari keuntungan penjualan sumber-sumber energy tersebut. Masalah pengklaiaman kebenaran peta juga menjadi masalah, Kamboja sebagai Negara bekas jajahan Perancis menggunakan peta dari mantan jajahannya, sementara Thailand menggunakan peta yang berbeda dalam penunjukan wilayah teritori masing-masing Negara. Sehingga terjadilah kesalahan penafsiran. Kekhawatiran Thailand terhadap Kamboja adalah apabila wilayah tersebut dikabulkan dalam pengklaimannya oleh Kamboja maka ditakutkan Kamboja akan semakin ingin menambah wilayah kekuasaanya dan wilaya-wilayah sala tafsiran yang lainnya, hal ini juga berlakusebaliknya.
            Dalam usaha penyelasaian masalah, kedua Negara telah menyetujui untuk melakukan pertemuan membahas mengenai jalan keluar dalam penyelasain sengketa, namun hingga kini(2008) Kamboja dan Thailand belum bertemu secara langsung. Dimana, pasca 15 Oktober lalu, hubungan kedua Negara semakin susah untuk dipertemukan.
            Realis memandang bahwa yang menjadi actor utama dalam konflik ini adalah masing-masing Negara, yaitu Kamboja dan Thailand karena dikaji lagi betapa pentingnya Negara dalam hubungan internasional yang begitu terasa. Terbukti dengan kurang adanya pengaruh yang signifikan dalam penyelasaian konflik Kamboja dan Thailand ini yaitu organisasi internasional yaitu PBB ataupun ASEAN yang pada kenyataannya tidak mampu  memberikan peran yang membantu dalam penyelasaian konflik bersenjata Kamboja-Thailand. Konflik bisa saja berakhir apabila Negara-negara yang terlibat konflik dengan sukarela bersedia untuk melakukan perdamaian, namun hal inilah yang susah untuk dilakukan oleh kedua Negara.
            Adapun, asumsi yang oleh kaum realis dalam memandang kasus ini adalah, dalam konflik salah satu cara dalam menanganinya hanyalah melalui sebuah perang, begitupula dalam kasus Kamboja-Thailand ini dimana hubungan kedua Negara adalah hubungan yang bersifat konfliktual. Karena bagi realis setiap hubungan antar Negara pastilah akan menimbulkan sebuah konflik, pada dasarnya pemenuhan keinginan dan kepentingan nasional merupakan hal utama dalam melakukan hubungan sehingga timbulah upaya-upaya sehubungan dengan pemunuhan hal-hal tersebut, dimana kepentingan nasional Negara satu akan berbeda dengan Negara lainnya, begitu pula Kamboja dan Thailand dalam halnya konflik tersebut. Beberapa hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya benturan-benturan kepentingan dalam hubungan antar Negara, yang berbuntut pada terjadinya konflik antar Negara. Dalam hal ini realis memandang pihak yang kuat kemudian akan mengalahkan pihak yang lemah dan pihak yang kalah kemudian akan melakukan apa yang diinginkan oleh pihak yang menang peperangan.
            Dengan mengambil keputusan, asumsi dasar dari realis sangat cocok dalam mengaitkan kasus dan terukti kebenarannya dalam konflik bersenjata Kamboja-Thailand, disebutkan kembali bahwa Negara merupakan satu-satunya actor utama dalam penyelesaian konflik dan dalam hubungan internasional terbukti dengan tidak adanya peran yang maksimal dari actor non Negara seperti organisasi internasional dalam konflik bersenjata yang dapat dikatakan awal mula perang ini. Selanjutnya adalah, hubungan antar Negara yang bersifat konfliktual dalam perebutan wilayah dalam jangka waktu yang panjang.
            Ditambahan pula, adanya kepentingan konflik kepentingan dalam perebutan wilayah antar Negara dan masyarakat, yang dibuktikan dengan adanya rasa sama-sama ingin memenuhi kepentingan nasional terkait dengan wilayah yang kaya akan sumber mineral, minyak bumi dan gas alam serta adanya implikasi kepemilikan pada begaining position dan power mereka. Kaum relais cenderung melakukan penolakan nilai moral yang bersifat universal dan lebih mementingkan power daripada keadilan sebagai contoh nyata pada kasus ini yaitu semakin memburuknya hubungan Kamboja dan Thailand yang dimana seharusnya menerapkan good neighbor policy namun pada kenyataan malah sebaliknya terbukti dalam penggunaan power yang semaikn terasa dalam memberikan tekanan pada lawannya. Dalam kasus ini realis sudah sangat mewakili seluruh pandangan lain,bahwa hubungan internasional akan selalu berkisar pada usaha saling menjatuhkan antar Negara demi tercapainya kepentingan nasional.
           








[1] Derek Manangka.”Bara Dendam Thailand-Kamboja, Konflik Thailand dan Kamboja” terdapat dalam  http://www.inilah.com/berita/politik/2008/10/18/55775/bara-dendam-thailand-kamboja/  diakses pada 19 November 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar