Konflik Bersenjata Kamboja-Thailand
dari Kacamata Realis
Sebuah teori yang telah lama dan
paling tradisional yang kita ketahui adalah Realisme dalam studi Hubungan
Internasional, unsur yang paling khas melekat dalam realism adalah power,
security, self-help, sevoreignty, dan interest. Realism biasa digunakan sebagai
perspektif dalam mengansumsikan dasar tentang hubungan internasional antar
Negara. Pada intinya, para pemikir realis memandng bahwa dunia politik berada
dalam suatu anarki internasional, dalam artian system tanpa adanya kekuasaan
yang dominan, dan tidak adanya pemerintahan yang memerintah dalam tingkatan
dunia. Tokoh utama dalam dunia politik ialah Negara itu sendiri, actor lain
selain Negara seperti organisasi internasional bukanlah actor yang memberi
pengaruh kepada dunia politik internasional. Dari sisi normative, keamananan
nasional dan kelangsungan hidup Negara merupakan bagian yang penting bagi
kehidupan warga negaranya, karena Negara merupakan pelindung dari wilayah,
penduduk.
Lalu dalam menanggapi sebuah kasus,
bagaimanakah realism memandang kasus Thailand dan Kamboja dalam konflik
bersenjata yang sudah lama terjadi? Melalui tulisan ini, saya akan menganalisa
kembali bagaimana konflik yang terjadi antara dua Negara tetangga ini bisa
terjadi. Thailand dan Kamboja merupakan Negara tetangga yang sama-sama berada
dalam wilayah Asia Tenggara dan memiliki hubungan yang cukup baik karena
didasari pada persamaan agama yaitu agama Budha yang merupakan agama mayoritas
di kedua Negara tersebut, persamaan yang lain adalah pada system pemerintahan
kedua Negara yaitu sama-sama mengadopsi system pemerintahan monarki absolut.
Retakanya hubungan kedua Negara
diawali pada tahun 1975 yang merupakan tahun dari kejadian konflik Perang
Indochina, dan keretakan hubungan terus berlanjut hingga pasca perang tersebut.
Masalah diperparah dengan perebutan hak miliki dari sebuah kuil yang berusia
900 tahun dan memiliki wilayah seluas 4.6 yaitu Kuil Preah Vihear, permasalahn ini terus
memanas belakangan ini. Sebenarnya,
kepemilikan kuil tersebut telah diatur oleh Mahkamah Internasional pada tahun
1962 yang dijatuhi kepemilikannya kepada rakyat Kamboja namun yang menjadi
masalah dalam konflik tersebut adalah tidak ada penjelassan lebih lanjut
mengenai kepemilikan wilayah seluas 4,6 tersebut oleh Mahkamah Internasional, dan juga
adanya keputusan UNESCO yang memasukkan kuil tersebut warisan sejarah dunia
yang menimbulkan reaksi negative dari rakyat Thailand. Oleh karena itu terjadilah sengketa yang diperparah
dengan gencatan senjata di wilayah tersebut, masing-masing Negara mengirimkan
lebih dari 4000 pasukan disekitar kawasan Kuil Preah Vihear pada Juli 2008,
sehingga kedua Negara menimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran kedaulatan
nasional mereka. Puncaknya pada 15 Oktober sebanyak tiga tentara Kamboja gugur
dalam gencatan senjata tersebut dan membuat empat tentara Thailand luka-luka.[1]
Alasan lain dalam perebutan wilayah
sekitar kuil Preah Vihear adalah, karena disekitar wilayah tersebut mengandung
banyak sumber daya mineral, minyak bumi dan gas alam, secara langsung akan
menambah dan menjamin terpenuhinya kebutuhan energy Negara pemiliknya dan juga
keuntungan dalam pemasukan Negara tersebut jika dilihat dari keuntungan
penjualan sumber-sumber energy tersebut. Masalah pengklaiaman kebenaran peta
juga menjadi masalah, Kamboja sebagai Negara bekas jajahan Perancis menggunakan
peta dari mantan jajahannya, sementara Thailand menggunakan peta yang berbeda
dalam penunjukan wilayah teritori masing-masing Negara. Sehingga terjadilah
kesalahan penafsiran. Kekhawatiran Thailand terhadap Kamboja adalah apabila
wilayah tersebut dikabulkan dalam pengklaimannya oleh Kamboja maka ditakutkan
Kamboja akan semakin ingin menambah wilayah kekuasaanya dan wilaya-wilayah sala
tafsiran yang lainnya, hal ini juga berlakusebaliknya.
Dalam usaha penyelasaian masalah,
kedua Negara telah menyetujui untuk melakukan pertemuan membahas mengenai jalan
keluar dalam penyelasain sengketa, namun hingga kini(2008) Kamboja dan Thailand
belum bertemu secara langsung. Dimana, pasca 15 Oktober lalu, hubungan kedua
Negara semakin susah untuk dipertemukan.
Realis memandang bahwa yang menjadi
actor utama dalam konflik ini adalah masing-masing Negara, yaitu Kamboja dan
Thailand karena dikaji lagi betapa pentingnya Negara dalam hubungan
internasional yang begitu terasa. Terbukti dengan kurang adanya pengaruh yang
signifikan dalam penyelasaian konflik Kamboja dan Thailand ini yaitu organisasi
internasional yaitu PBB ataupun ASEAN yang pada kenyataannya tidak mampu memberikan peran yang membantu dalam
penyelasaian konflik bersenjata Kamboja-Thailand. Konflik bisa saja berakhir
apabila Negara-negara yang terlibat konflik dengan sukarela bersedia untuk
melakukan perdamaian, namun hal inilah yang susah untuk dilakukan oleh kedua
Negara.
Adapun, asumsi yang oleh kaum realis
dalam memandang kasus ini adalah, dalam konflik salah satu cara dalam
menanganinya hanyalah melalui sebuah perang, begitupula dalam kasus
Kamboja-Thailand ini dimana hubungan kedua Negara adalah hubungan yang bersifat
konfliktual. Karena bagi realis setiap hubungan antar Negara pastilah akan
menimbulkan sebuah konflik, pada dasarnya pemenuhan keinginan dan kepentingan
nasional merupakan hal utama dalam melakukan hubungan sehingga timbulah
upaya-upaya sehubungan dengan pemunuhan hal-hal tersebut, dimana kepentingan
nasional Negara satu akan berbeda dengan Negara lainnya, begitu pula Kamboja
dan Thailand dalam halnya konflik tersebut. Beberapa hal tersebut dapat
menyebabkan terjadinya benturan-benturan kepentingan dalam hubungan antar
Negara, yang berbuntut pada terjadinya konflik antar Negara. Dalam hal ini
realis memandang pihak yang kuat kemudian akan mengalahkan pihak yang lemah dan
pihak yang kalah kemudian akan melakukan apa yang diinginkan oleh pihak yang
menang peperangan.
Dengan mengambil keputusan, asumsi
dasar dari realis sangat cocok dalam mengaitkan kasus dan terukti kebenarannya
dalam konflik bersenjata Kamboja-Thailand, disebutkan kembali bahwa Negara
merupakan satu-satunya actor utama dalam penyelesaian konflik dan dalam
hubungan internasional terbukti dengan tidak adanya peran yang maksimal dari
actor non Negara seperti organisasi internasional dalam konflik bersenjata yang
dapat dikatakan awal mula perang ini. Selanjutnya adalah, hubungan antar Negara
yang bersifat konfliktual dalam perebutan wilayah dalam jangka waktu yang
panjang.
Ditambahan pula, adanya kepentingan
konflik kepentingan dalam perebutan wilayah antar Negara dan masyarakat, yang
dibuktikan dengan adanya rasa sama-sama ingin memenuhi kepentingan nasional
terkait dengan wilayah yang kaya akan sumber mineral, minyak bumi dan gas alam
serta adanya implikasi kepemilikan pada begaining position dan power mereka.
Kaum relais cenderung melakukan penolakan nilai moral yang bersifat universal
dan lebih mementingkan power daripada keadilan sebagai contoh nyata pada kasus
ini yaitu semakin memburuknya hubungan Kamboja dan Thailand yang dimana
seharusnya menerapkan good neighbor
policy namun pada kenyataan malah sebaliknya terbukti dalam penggunaan
power yang semaikn terasa dalam memberikan tekanan pada lawannya. Dalam kasus
ini realis sudah sangat mewakili seluruh pandangan lain,bahwa hubungan
internasional akan selalu berkisar pada usaha saling menjatuhkan antar Negara
demi tercapainya kepentingan nasional.
[1]
Derek
Manangka.”Bara Dendam Thailand-Kamboja, Konflik Thailand dan Kamboja” terdapat
dalam http://www.inilah.com/berita/politik/2008/10/18/55775/bara-dendam-thailand-kamboja/ diakses pada 19 November 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar